Donggala dan Marwah Adat yang Tak Boleh Padam

Donggala dan Marwah Adat yang Tak Boleh Padam

 

Donggala – Di negeri yang dibangun dari seribu pulau dan sejuta adat ini, setiap kampung sejatinya menyimpan kitab tak tertulis tentang bagaimana manusia hidup dalam keseimbangan. Adat โ€” dalam konteks masyarakat Indonesia โ€” bukan sekadar peninggalan masa silam, melainkan napas kolektif yang menautkan manusia pada akar dan makna keberadaannya.

Di Donggala, Sulawesi Tengah, adat bukan barang antik di museum tradisi. Ia masih berdenyut dalam sendi kehidupan: dalam musyawarah di balai desa, dalam salam yang diucap saat bertamu, hingga dalam cara masyarakat menakar keadilan di luar meja pengadilan. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi yang menembus sekat ruang dan generasi, denyut itu mulai tersengal.

โ€œGlobalisasi tidak datang mengetuk pintu, ia menerobos dinding-dinding rumah,โ€ ujar Ihlal Languja, S.Kom., M.AP,ย  kabid pemberdayaan masyarakat LAD dan TTG dalam satu perbincangan. โ€œTanpa sadar, kita mulai kehilangan cara kita sendiri dalam menyelesaikan persoalan.โ€

Ketika Tradisi Mulai Menyepi

Donggala, dengan lanskap geografis yang memeluk laut dan pegunungan, adalah mosaik etnis dan budaya. Di setiap jengkal tanahnya, tersimpan warisan luhur yang diwariskan turun-temurun โ€” sistem nilai yang mengajarkan tentang gotong royong, keadilan, dan rasa malu sebagai penuntun moral.

Namun, di tengah derasnya arus informasi, warisan itu perlahan mengelupas. Generasi muda, yang tumbuh dengan layar di genggaman, mulai kehilangan kemampuan membaca simbol adat. Mereka hafal nama selebriti dunia, tapi gagap ketika ditanya makna โ€œmusyawarah mufakatโ€ atau tata cara meminta maaf dalam adat.

Ihlal menyebut kondisi ini sebagai โ€œerosi nilai yang senyap.โ€ Ia tak menimbulkan gegar budaya secara tiba-tiba, tapi perlahan menggerogoti fondasi sosial masyarakat. โ€œKerapuhan ini tampak dari meningkatnya konflik sosial dan menurunnya kemampuan masyarakat menyelesaikan masalah secara damai,โ€ ujarnya.

Revitalisasi: Menghidupkan Kembali yang Pernah Hidup

Dari kesadaran itulah, lahir gagasan untuk mengembalikan adat ke posisinya yang semula: bukan sekadar ornamen budaya, melainkan sistem sosial yang hidup. Pemerintah Kabupaten Donggala kini tengah mendorong program โ€œBERADATโ€ โ€” akronim dari Berani, Tangguh, Aman, dan Sejahtera.

Program ini, kata Ihlal, bukan sekadar slogan pembangunan, melainkan gerakan moral untuk menghidupkan kembali nilai-nilai dasar adat di setiap lapisan masyarakat. โ€œKami ingin agar adat tidak hanya dirayakan, tapi dijalankan,โ€ ujarnya tegas.

Melalui program ini, pemerintah desa dan lembaga adat akan diberi pelatihan serta perangkat untuk mengelola dan menegakkan hukum adat secara sistematis. Tujuannya sederhana: mengembalikan kewibawaan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan internal tanpa harus bergantung sepenuhnya pada hukum formal.

Salah satu contoh nyata, kata Ihlal, adalah penanganan kasus-kasus pencurian dengan nilai kerugian di bawah dua juta rupiah. โ€œDalam sistem hukum negara, perkara seperti ini sering kali berhenti di tengah jalan. Tapi dalam hukum adat, sanksi bisa diberikan dengan mempertimbangkan rasa malu, tanggung jawab, dan efek jera,โ€ katanya.

Sanksi adat, dalam pandangan masyarakat, bukan sekadar hukuman. Ia adalah proses pemulihan moral โ€” cara mengembalikan keseimbangan yang sempat goyah.

Adat Sebagai Pilar Ketahanan Sosial

Lebih dari sekadar sistem hukum, adat sesungguhnya adalah mekanisme sosial yang menjaga harmoni. Ia mengajarkan bahwa setiap keputusan harus lahir dari musyawarah, setiap tindakan disertai pertimbangan moral, dan setiap perbedaan diselesaikan tanpa permusuhan.

โ€œDengan mengembalikan marwah adat, kita tidak hanya melestarikan warisan leluhur, tapi juga membangun fondasi yang kokoh bagi ketahanan sosial,โ€ ujar Ihlal.

Ia kemudian menguraikan empat peran strategis adat di tengah masyarakat:

1. Sebagai penjaga harmoni sosial, memastikan setiap anggota komunitas hidup dalam keseimbangan.

2. Sebagai sarana penyelesaian konflik, yang mengedepankan perdamaian dan keadilan restoratif.

3. Sebagai media pendidikan nilai kebersamaan, menanamkan etika sosial sejak dini.

4. Sebagai instrumen pelestarian lingkungan, yang berpijak pada kearifan lokal dan rasa hormat terhadap alam.

 

Menjaga Api di Tengah Angin Perubahan

Revitalisasi adat, lanjut Ihlal, tidak berhenti pada seremoni dan simbol. Ia harus dihidupkan dalam perilaku โ€” dalam cara pemimpin mendengar warganya, dalam cara masyarakat menegakkan keadilan, dan dalam cara generasi muda memahami jati dirinya.

โ€œAdat adalah api yang diwariskan. Ia bisa padam bila tak dijaga, tapi bisa pula menerangi bila dirawat dengan kesadaran,โ€ tutup Ihlal.

Di Donggala, upaya menjaga api itu telah dimulai. Perlahan, masyarakat kembali menoleh ke akar, menyadari bahwa masa depan tidak selalu harus dibangun dari yang baru, melainkan dari yang telah teruji oleh waktu: adat yang hidup, dan kehidupan yang beradat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *