INIPALU.com – Kasus pertambangan ilegal di Sulawesi Tengah terus menjadi perhatian, terutama di kalangan pemuda dan mahasiswa. Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah dugaan aktivitas perendaman emas secara ilegal oleh PT Adijaya Karya Makmur (AKM) di Kelurahan Poboya, Kota Palu.
Pada November 2024, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah melayangkan surat kepada PT AKM yang berisi larangan pengolahan emas dengan sistem perendaman atau heap leach. Namun, hingga kini, belum ada tindakan tegas terhadap dugaan pelanggaran tersebut, sehingga memicu pertanyaan dari berbagai pihak, termasuk mahasiswa.
“Apakah kasus AKM ini salah satu sisi gelap dari pertambangan di Poboya?” tanya salah satu mahasiswa dalam dialog publik bertema “Illegal Mining di Mana-mana, Pemerintah dan Kepolisian pada Kemana?”, yang digelar di Ballroom Hotel Santika, Palu, Senin (10/03/2025). Dialog ini merupakan bagian dari pembukaan Konfercab ke-47 Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Palu.
Dalam diskusi ini, hadir sejumlah narasumber, termasuk perwakilan kepolisian, akademisi, jurnalis, dan pegiat lingkungan.
PT AKM diketahui merupakan kontraktor yang bekerja sebagai mitra PT Citra Palu Minerals (CPM), pemegang Kontrak Karya pertambangan emas Poboya. Namun, aktivitas perusahaan ini diduga melampaui batas perannya sebagai penyedia alat berat.
Dedi Irawan, aktivis lingkungan hidup, menyebut bahwa seharusnya sektor pertambangan membawa manfaat bagi daerah penghasil jika dikelola dengan baik. Namun, dalam kasus Poboya, ia melihat adanya indikasi pelanggaran yang signifikan.
“AKM hanya kontraktor penyedia alat berat, tetapi dalam praktiknya, mereka melakukan aktivitas di luar aturan regulasi di wilayah Kontrak Karya PT CPM,” ungkap Dedi.
Menurutnya, aktivitas perendaman emas oleh PT AKM telah dinyatakan ilegal oleh Kementerian ESDM karena tidak terlaporkan secara resmi dalam laporan pajak PT CPM sebagai pemegang izin resmi.
Lebih lanjut, Dedi menduga bahwa keterlibatan mantan pejabat Polri di internal PT AKM menjadi salah satu faktor tidak adanya penindakan dari aparat kepolisian.
“Dalam akta perusahaan, nama eks Kapolda Sulteng, Irjen (Purn) Abdul Rakhman Baso, tercatat sebagai komisaris utama PT AKM. Kalau bicara oknum, saya kira masalah ini sudah bukan rahasia. Ada elite dan mantan pejabat Polri. Kita tidak tahu bagaimana Polda Sulteng melihat kasus AKM ini,” ujarnya.
Selain Poboya, kasus tambang ilegal di Desa Buranga, Kabupaten Parigi Moutong, juga kembali mencuat dalam diskusi ini. Tambang tersebut sempat memakan korban jiwa akibat longsor pada Februari 2021.
Meskipun kini tambang Buranga diklaim telah dikelola oleh sejumlah koperasi dengan mengantongi Izin Pertambangan Rakyat (IPR), polemik tetap berlanjut. Peserta diskusi mempertanyakan apakah izin yang diberikan benar-benar dijalankan sesuai aturan atau hanya menjadi legalisasi atas aktivitas pertambangan yang tidak sepenuhnya diawasi.
Sekretaris Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Sulawesi Tengah, Temu Sutrisno, menegaskan bahwa isu pertambangan memiliki daya tarik tinggi dalam pemberitaan.
“Sepanjang 2023, ada sekitar 41.500 berita tentang tambang di Sulawesi Tengah, dengan 9.920 di antaranya membahas kasus tambang ilegal. Tahun 2024, jumlah pemberitaan naik menjadi 72 ribu. Sementara di awal 2025 saja, sudah ada 4.910 berita yang membahas tata kelola pertambangan,” jelas Temu.
Menurutnya, tingginya porsi pemberitaan menunjukkan bahwa masyarakat memiliki kepedulian besar terhadap masalah pertambangan di daerah ini.
“Kami juga meminta pimpinan Polda Sulteng untuk mengecek ada tidaknya aparat yang bermain dalam bisnis pertambangan ilegal. Media sering memberitakan dugaan keterlibatan oknum pemerintahan dan aparat penegak hukum, tetapi yang berwenang untuk mengungkap kebenarannya adalah pimpinan kepolisian,” tambahnya.
Menanggapi berbagai sorotan, perwakilan Polda Sulteng, AKP Rusdi Marzuki, mengungkapkan sejumlah modus yang kerap digunakan dalam praktik tambang ilegal di wilayahnya.
Pertama, pelaku melakukan penambangan tanpa izin atau tetap beraktivitas meskipun izin usahanya telah kedaluwarsa. Kedua, ada perusahaan yang menambang di luar lokasi yang ditetapkan dalam Izin Usaha Pertambangan (IUP).
“Ada juga pertambangan yang menggunakan izin yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Misalnya, mengantongi izin galian C, tetapi menambang emas atau nikel,” beber Rusdi.
Ia menegaskan bahwa Polda Sulteng telah menangani 15 laporan polisi terkait tambang ilegal sepanjang 2023 dan 2024. Namun, ia tidak menyinggung dugaan pelanggaran yang dilakukan PT AKM di Poboya.
“Untuk 2025, sudah ada dua perkara tambang ilegal yang kami serahkan ke kejaksaan pada bulan Maret, dengan lokasi di Parigi Moutong,” tambahnya.
Meski kepolisian mengklaim telah menangani sejumlah kasus tambang ilegal, diskusi ini menunjukkan bahwa masih banyak pertanyaan yang belum terjawab.
Kasus PT AKM di Poboya menjadi bukti bahwa keberadaan aktor-aktor kuat di balik pertambangan ilegal dapat menghambat penegakan hukum. Keterlibatan mantan pejabat kepolisian dalam perusahaan yang terindikasi melanggar aturan semakin menambah kompleksitas masalah ini.
Sementara itu, tambang Buranga yang telah mengantongi izin rakyat juga masih menyisakan tanda tanya besar: apakah izin tersebut benar-benar membawa perubahan atau hanya mengalihkan status tambang ilegal menjadi legal tanpa pengawasan ketat?
Dengan masih banyaknya praktik pertambangan ilegal di Sulawesi Tengah, masyarakat, akademisi, dan media terus mendesak agar pemerintah dan aparat penegak hukum bertindak lebih tegas. Tanpa langkah nyata, tambang ilegal akan terus menjadi masalah yang merugikan lingkungan dan ekonomi daerah.(*)
Tidak ada komentar