Walhi Sulteng Desak Proper IMIP Dicabut

waktu baca 4 menit
Selasa, 6 Mei 2025 02:20 150 Redaksi

INIPALU.com- Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia (KLHK) melalui Keputusan Nomor 129 Tahun 2025 tentang Hasil Penilaian Peringkat Kinerja (Proper) Perusahaan Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup Tahun 2023–2024 menuai kritik keras dari Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Sulawesi Tengah. Proper yang diberikan kepada PT Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang diserahkan oleh Gubernur Sulawesi Tengah, Anwar Hafid, dan terekspose melalui akun Instagram resmi IMIP pada 25 April 2025, dinilai tidak mencerminkan realitas kondisi lingkungan yang terjadi di lapangan.

“Penilaian ini harusnya dilakukan dengan sangat hati-hati, teliti, dan berdasar fakta-fakta dampak lingkungan yang nyata di lapangan. Jangan asal-asalan menilai,” tegas Sunardi Katili, Direktur Walhi Sulawesi Tengah, saat dihubungi media ini.

Sunardi menyoroti bahwa PT IMIP bukanlah entitas tunggal, melainkan hasil joint venture antara PT Bintang Delapan Mineral (BDM), Shingshan Steel Group, dan Sulawesi Mineral Indonesia (SMI) yang kini membentuk kawasan industri pengolahan nikel terbesar di Indonesia. Aktivitas perusahaan ini yang masif, kata Sunardi, telah menimbulkan kerusakan lingkungan skala besar di Kabupaten Morowali dan Kabupaten Morowali Utara.

Salah satu temuan paling mengkhawatirkan menurut Walhi adalah paparan kontaminasi kromium heksavalen (Cr6+) pada sejumlah sungai di sekitar kawasan industri pengolahan nikel tersebut. Berdasarkan uji kualitas air tahun 2023, ditemukan jejak Cr6+ sebesar 0,1 mg/L di beberapa titik sungai yang melintasi Desa Onepute dan Desa Dampala, serta 0,075 mg/L di Sungai Bahodopi dan Sungai Labota.

“Konsentrasi ini cukup signifikan dan berbahaya. Cr6+ bisa menyebabkan gangguan pernapasan serius, kanker paru-paru, bahkan kerusakan hati, ginjal, serta sistem kekebalan tubuh,” ujar Sunardi.

PLTU Batu Bara IMIP Sumbang Emisi CO₂ Tinggi dan Gangguan Kesehatan

Walhi juga menyoroti pencemaran udara yang berasal dari aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara yang digunakan IMIP untuk menunjang operasional kawasan industri tersebut. Menurut catatan mereka, debu batu bara dari PLTU bahkan telah masuk ke rumah-rumah warga Dusun Kurisa selama lima tahun terakhir.

“Debu-debu ini memaksa warga menutup tampungan air bersih dengan kain, agar tidak tercemar. Aktivitas belajar mengajar di SDN dan MTS Aljariyah terganggu akibat kebisingan dan debu. Enam siswa mengalami batuk-batuk dan sesak napas,” jelas Sunardi.

Walhi mencatat, IMIP menggunakan sekitar 22.280.000 ton batu bara per hari. Dari 20 unit PLTU dengan kapasitas listrik 5.570 MW per hari, diperkirakan menghasilkan 12.811 ton CO₂ per hari. Dalam setahun, emisi CO₂ dari kawasan industri IMIP dapat mencapai 4.676.015 ton.

“Angka ini sangat kontras dengan komitmen pemerintah untuk menekan suhu bumi di bawah 1,5°C. Di satu sisi pemerintah bicara transisi energi, di sisi lain masih membiarkan penggunaan batu bara di kawasan industri seperti IMIP,” kata Sunardi.

Walhi mencatat bahwa sejak kehadiran IMIP, banjir menjadi langganan di sejumlah wilayah di Morowali dan Morowali Utara. Pada tahun 2020, banjir menerjang 362 hektar sawah di Bungku Utara. Tahun 2022, 500 KK terdampak banjir di Kecamatan Bahodopi, dan 1.833 KK di Desa Tompira terdampak luapan Sungai Laa. Tahun 2023, banjir kembali merendam tujuh desa di dua kecamatan, termasuk banjir besar di Desa Labota.

“Semua ini tidak bisa dilepaskan dari pembukaan lahan besar-besaran untuk tambang dan pembangunan infrastruktur industri. Deforestasi menyebabkan sumber mata air menghilang dan sedimentasi naik ke laut. Ini bukti nyata kerusakan lingkungan,” ujar Sunardi.

Di sisi lain, komunitas pesisir seperti di Desa Fatuvia dan Dusun Kurisa juga mengalami dampak sosial dan ekonomi yang signifikan. Dahulu nelayan hanya perlu melaut dekat pemukiman dan bisa menangkap ikan karapu hingga 6 kg. Kini mereka harus melaut 3–4 jam dan hasil tangkapan tak menentu.

“Perempuan yang dulu mencari kerang meti untuk konsumsi dan dijual, sekarang beralih menjadi pemulung plastik karena laut sudah tidak bersahabat. Air panas dari pembuangan IMIP membuat karang mati, ikan dan kerang sulit ditemukan. Ini bukan sekadar soal ekonomi, tapi krisis ekologis dan kemanusiaan,” kata Sunardi dengan nada prihatin.

Dengan berbagai fakta tersebut, Walhi Sulawesi Tengah mendesak Menteri KLHK untuk segera menarik kembali Proper yang diberikan kepada PT IMIP dan melakukan evaluasi menyeluruh terhadap kinerja lingkungan perusahaan tersebut.

“Proper seharusnya menjadi alat kontrol dan indikator kepatuhan lingkungan perusahaan, bukan alat legitimasi pencitraan. KLHK harus hadir sebagai pelindung rakyat dan alam, bukan sebagai pemberi penghargaan tanpa dasar yang jelas,” pungkas Sunardi Katili.(*)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

LAINNYA