INIPALU.com โ Aksi protes besar kembali mewarnai kawasan pertambangan emas di Kelurahan Poboya, Kecamatan Mantikulore, Kota Palu. Puluhan warga dari komunitas penambang rakyat dan masyarakat lingkar tambang pada Selasa (20/5/2025) menutup akses jalan utama menuju kawasan operasional PT Citra Palu Minerals (CPM), anak usaha PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS). Aksi ini dipicu oleh kabar kedatangan tokoh nasional sekaligus petinggi BRMS, Abu Rizal Bakrie, yang dijadwalkan meresmikan sistem tambang bawah tanah (underground mining) milik perusahaan tersebut.
Koordinator Rakyat Lingkar Tambang Poboya, Kusnadi Paputungan, menyatakan bahwa aksi penutupan jalan ini adalah bentuk nyata penolakan masyarakat terhadap model pertambangan bawah tanah yang akan diterapkan PT CPM. Menurutnya, sistem tambang ini menimbulkan kekhawatiran besar terhadap dampak lingkungan dan keselamatan warga yang tinggal di sekitar area tambang.
โKami mendapat informasi bahwa Abu Rizal Bakrie datang untuk meresmikan tambang bawah tanah. Padahal, sistem ini masih menjadi polemik di tengah masyarakat. Apakah ini aman? Apakah ini tidak membahayakan lingkungan dan keselamatan kami yang tinggal di atasnya?โ ujar Kusnadi dengan nada tegas di lokasi aksi.
Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Kota Palu memiliki sejarah kelam terkait bencana alam, khususnya gempa bumi dan likuefaksi dahsyat yang terjadi pada 2018 silam. Kusnadi menganggap pengoperasian sistem tambang bawah tanah tanpa penjelasan transparan dari perusahaan merupakan bentuk pengabaian terhadap risiko bencana yang nyata.
โPalu ini rawan gempa. Kalau tanah di bawahnya dibor, dibuat jalur tambang, bagaimana kalau tanah di atasnya ambles? Apakah PT CPM mau bertanggung jawab kalau terjadi apa-apa?โ kata Kusnadi.
Lebih jauh, Kusnadi menyoroti ketidakjelasan status Izin Pertambangan Rakyat (IPR) yang sejak lama dinantikan masyarakat. Ia menuding perusahaan justru berupaya menyingkirkan penambang rakyat dengan dalih legalitas, tanpa memberikan solusi hukum yang adil bagi warga.
โSampai hari ini, tidak ada kejelasan. Warga sudah menambang di sini sejak lama. Tapi terus-menerus ditertibkan dan dicap sebagai PETI penambang tanpa izin. Sementara ruang legal tidak diberikan,โ katanya.
โKalau PT CPM mau nyaman beroperasi, berikan juga ruang kepada kami. Biarkan kami urus legalitas WPR dan IPR sendiri, sesuai aturan.โlanjudnya.
Aksi ini juga mendapat dukungan dari tokoh masyarakat setempat, Agus Salim Walahi, yang menyebut persoalan di seputar tambang Poboya sangat kompleks dan menahun. Ia mengungkapkan bahwa konflik lahan, isu lingkungan, dan ketimpangan hak atas tambang menjadi persoalan utama yang belum pernah benar-benar diselesaikan.
โSelama ini, kami terus dicap ilegal karena tidak pernah dilegalkan. Padahal kami hanya ingin mencari nafkah. Lihat saja Parigi Moutong, mereka sudah punya Wilayah Pertambangan Rakyat. Kenapa Poboya tidak bisa?โ ujar Agus dengan nada kecewa.
Agus juga membeberkan bahwa proses pembebasan lahan oleh perusahaan dilakukan secara sepihak dan merugikan masyarakat. Banyak warga, katanya, hanya menerima kompensasi berdasarkan “kerohiman” yang ditentukan oleh perusahaan, tanpa melalui proses musyawarah yang adil.
โTanah kami diambil paksa. Harganya pun tidak layak. Sekarang mereka klaim sudah kuasai sekitar 1.600 hektare, sementara kami tidak diberi sedikit pun ruang untuk dikelola secara legal,โ tegasnya.
Ia juga menambahkan bahwa banyak warga mengalami kriminalisasi saat memperjuangkan haknya, termasuk saat mencoba bertahan hidup dari tambang rakyat.
โKami tidak anti-investasi. Tapi jangan jadikan kami korban. Tambang rakyat harus tetap ada, dan perusahaan wajib menyelesaikan konflik lahan dengan harga yang layak. Itu harga mati,โ ucap Agus.
Selain itu, Agus turut mengkritisi pembatasan akses warga ke kebun dan ladang yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka. Keberadaan pos-pos pengamanan perusahaan dinilai telah menyulitkan aktivitas warga sehari-hari.
โKe kebun saja kami harus lewati pos, ditanya ini-itu, seolah kami maling di tanah sendiri,โ katanya.
Aksi blokade jalan ini menjadi sinyal keras bahwa masyarakat tidak bisa terus-menerus dibungkam dalam proyek-proyek besar berskala nasional. Mereka menuntut transparansi, keadilan, dan keterlibatan dalam pengambilan keputusan yang menyangkut masa depan tanah dan kehidupan mereka.
Hingga berita ini diturunkan, belum ada pernyataan resmi dari pihak PT CPM maupun BRMS terkait aksi warga dan isu yang disuarakan. Namun, ketegangan di kawasan Poboya dipastikan akan terus memanas jika tidak segera ada dialog terbuka antara perusahaan dan masyarakat.(*)
Tidak ada komentar