PALU,โ Misteri kemana perginya dana ratusan juta rupiah dari anggaran tahun 2020 Pemerintah Kabupaten Morowali Utara (Morut), menjadi salah satu pertanyaan krusial dalam persidangan lanjutan kasus dugaan korupsi yang menjerat mantan pejabat di daerah tersebut.
Sidang lanjutan perkara dugaan korupsi penggunaan anggaran belanja barang dan jasa Tahun Anggaran (TA) 2021 di Bagian Umum Sekretariat Daerah Pemkab Morut kembali digelar di Pengadilan Negeri Klas 1A/PHI/Tipikor Palu, pada Selasa, 10 Juni 2025.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Morut menghadirkan empat saksi dalam sidang tersebut, yakni Wartus (Kasubag Keuangan Bagian Umum TA 2021), Syamfadli (mantan ajudan Bupati), Muh Arfandi (staf Bupati), dan Yansen (staf Bagian Umum).
Kasus ini bermula dari permintaan terdakwa MAAS, mantan Bupati Morut periode 2020โ2021, yang menuntut agar hak-haknya yang belum terbayarkan pada 2020 segera dibayarkan. Hak-hak tersebut meliputi biaya perjalanan dinas dan sejumlah pengeluaran lainnya selama ia menjabat. Tidak hanya MAAS, ajudan, sopir, dan beberapa staf bupati juga disebut belum menerima hak-haknya.
MAAS kemudian mendesak Bagian Umum Setda untuk segera mencairkan dan membayarkan dana tersebut. Namun, pada saat pembayaran seharusnya dilakukan tahun 2020, tidak ada satupun pihak yang mengetahui pasti mengapa anggaran yang tersedia tidak digunakan.
โSaya tidak tahu kenapa tidak ada pembayaran pada 2020,โ kata saksi Wartus saat menjawab pertanyaan majelis hakim.
Keempat saksi yang diperiksa membenarkan bahwa pembayaran baru dilakukan pada tahun berikutnya, yakni 2021. Pembayaran inilah yang kemudian menjadi pangkal permasalahan.
Dalam sidang, muncul istilah โSPPD tercecerโ yang merujuk pada dokumen perjalanan dinas tahun 2020 yang tidak dibayarkan saat itu, meskipun ada anggarannya. Dokumen tersebut kemudian dimasukkan ke dalam mata anggaran tahun 2021 dan dibayarkan. Hal ini dianggap menyalahi aturan keuangan negara, karena terjadi pelampauan tahun anggaran.
Namun, saat ditanya ke mana anggaran tahun 2020 yang telah dialokasikan, tidak satu pun saksi dapat memberikan jawaban pasti. Semua mengaku tidak tahu-menahu, termasuk ketika dikonfirmasi adanya mata anggaran sebesar Rp841 juta yang hanya diperuntukkan untuk Bupati dan Wakil Bupati, tanpa mencantumkan Sekda sebagai penerima manfaat.
Karena tidak ada saksi yang dapat menjelaskan keberadaan dana tahun 2020, penasihat hukum terdakwa MAAS meminta agar Sekretaris Daerah (Sekda) Morut, Musda Guntur, dihadirkan sebagai saksi pada persidangan berikutnya. Sekda dinilai sebagai pihak yang paling bertanggung jawab atas pengelolaan administrasi dan keuangan di lingkup Sekretariat Daerah.
“Siap, sidang berikutnya Sekda akan kami hadirkan sebagai saksi,” sahut JPU, yang kemudian disetujui oleh majelis hakim. Sidang lanjutan dijadwalkan pada Senin, 16 Juni 2025.
Kasus dugaan korupsi ini menyeret tiga orang terdakwa, yakni MAAS (mantan Bupati Morut), RTS (mantan Kepala Bagian Umum Pemkab Morut), dan AT (mantan Bendahara Bagian Umum).
Menurut dakwaan, negara dirugikan sebesar Rp539 juta akibat praktik tersebut. Perkara ini terjadi pada tahun 2021 ketika Bagian Umum dan Perlengkapan Setda Morut melakukan pencairan Uang Persediaan (UP) sebesar Rp900 juta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Morut.
Dari jumlah itu, Rp648,9 juta digunakan untuk membiayai kegiatan perjalanan dinas. Rinciannya, pembayaran perjalanan dinas tahun 2020 yang dilakukan pada tahun 2021 sebesar Rp509,2 juta, perjalanan dinas tahun 2021 sebesar Rp139,7 juta, serta pembayaran medical check up sebesar Rp30 juta.
MAAS disebut memerintahkan AT untuk membayarkan hak-haknya tahun 2020 sebesar Rp450 juta, dan AT melaksanakannya setelah mendapat perintah dari RTS. Selain itu, ada pula pembayaran hak perjalanan dinas bagi ajudan dan staf bupati senilai Rp89,2 juta.
Pembayaran lintas tahun ini dianggap menyalahi ketentuan pengelolaan anggaran negara, sehingga menimbulkan indikasi tindak pidana korupsi.
Ketiganya dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 18 ayat 1 Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus ini menjadi sorotan publik di Morowali Utara, terutama karena menyangkut anggaran negara dan kepercayaan publik terhadap pejabat daerah. Keterlibatan mantan Bupati, Kabag Umum, dan Bendahara Bagian Umum menambah bobot kasus ini sebagai gambaran lemahnya tata kelola keuangan di daerah.
Publik kini menantikan kejelasan dari Sekda Musda Guntur pada sidang berikutnya, yang diharapkan mampu mengungkap lebih detail mengenai keberadaan dan pengelolaan dana tahun 2020 tersebut.
Apakah dana tersebut memang tidak digunakan, dialihkan, atau ada penyalahgunaan wewenang di balik tidak cairnya hak-hak pejabat kala itu, menjadi pertanyaan yang harus segera dijawab. Sidang mendatang diyakini akan menjadi momentum penting untuk membuka tabir persoalan yang hingga kini belum terjawab. (*)
Tidak ada komentar