PALU – Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan lima orang saksi dalam sidang lanjutan kasus dugaan korupsi belanja barang dan jasa pada Bagian Umum dan Perlengkapan Sekretariat Daerah Kabupaten Morowali Utara (Morut) tahun anggaran 2020. Kasus ini menimbulkan kerugian negara sebesar Rp539.218.225.
Tiga terdakwa dalam perkara ini adalah mantan Bupati Morut Moh Asrar Abd Samad (MAAS), Kepala Bagian Umum dan Perlengkapan Sekda Pemkab Morut Rijal Thaib Sehi (RTS), serta Bendahara Bagian Umum dan Perlengkapan Sekda Asri Taufik (AT). Sidang berlangsung di Pengadilan Negeri Kelas IA PHI/Tipikor/Palu, Senin (16/6/2025).
Kelima saksi yang dihadirkan antara lain Sekretaris Daerah (Sekda) Morut Musda Guntur, mantan Sekda dan Pj Bupati Morut Yalbert Tulaka, Kabag Protokol Rahmawati Donda, dokter umum RSUD Kolonodale Ni Wayan Ariyani, dan Habrin.
Dalam sidang, Ketua Majelis Hakim Dwi Atmojo memeriksa empat saksi terlebih dahulu. Sementara Sekda Morut Musda Guntur diperiksa secara terpisah atas permintaan kuasa hukum terdakwa MAAS, Ghita A. Nindya.
Dalam persidangan terungkap bahwa kejaksaan telah menyita sejumlah dokumen, termasuk dokumen APBD Perubahan 2020. Namun, saat diminta penasihat hukum terdakwa untuk memperlihatkan dokumen tersebut di ruang sidang, JPU belum melakukannya. Hal ini memicu tanda tanya dari pihak penasihat hukum.
Saksi Yalbert Tulaka menegaskan tidak pernah menerima dana perjalanan dinas atas sejumlah kegiatan, termasuk kunjungan kerja ke Kementerian Dalam Negeri.
Hal senada disampaikan saksi Rahmawati Donda yang menyatakan tidak pernah menerima uang perjalanan dinas untuk pertemuan di Kemendagri, DPR RI, hingga Dirjen Otda. Ia juga membantah telah membubuhkan tanda tangan dalam kwitansi yang dipermasalahkan.
Saksi Ni Wayan Ariyani juga membantah pernah melakukan medical check up terhadap MAAS pada 2020 dengan nilai Rp30 juta, maupun menandatangani dokumen apapun terkait hal tersebut.
Dalam sidang terpisah, Sekda Musda Guntur dicecar pertanyaan oleh tim penasihat hukum terkait tanggung jawabnya dalam pelaksanaan anggaran. Ia menyebut telah melakukan koordinasi secara umum melalui pembagian kewenangan kepada masing-masing unit, terutama bagian keuangan.
Saat ditanya kapan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mulai memeriksa anggaran dan langkah apa yang diambil pasca-temuan, saksi menjawab bahwa hal itu langsung dikoordinasikan dengan Inspektorat. Ia menambahkan bahwa anggaran perjalanan dinas, termasuk biaya sopir, telah dicantumkan dalam APBD 2020.
Namun, Musda juga mengungkap adanya kekurangan dana yang disebabkan oleh utang perjalanan dinas staf yang belum dibayar sejak tahun sebelumnya. Ia menegaskan bahwa pencairan dana perjalanan dinas menjadi tanggung jawab kuasa pengguna anggaran.
Terkait istilah “eksekusi” yang digunakan dalam proses pembayaran, majelis hakim menyebut istilah tersebut membingungkan. Musda menjelaskan bahwa eksekusi maksudnya adalah pembayaran tunai langsung oleh bendahara. MAAS disebut meminta dana Rp500 juta, namun yang disetujui hanya Rp450 juta.
Musda mengaku baru mengetahui soal pencairan Rp450 juta setelah mendapat informasi dari bendahara. Ia kemudian memanggil AT untuk menanyakan dasar pencairan tersebut. Dari keterangan bendahara, dana Rp450 juta berasal dari Uang Persediaan (UP) yang seharusnya digunakan untuk kegiatan tahun anggaran 2021.
Menurut Musda, kekurangan dana Rp539 juta seharusnya tidak terjadi, sebab Surat Pertanggungjawaban (SPJ) baru muncul pada 2021, padahal finalisasi anggaran dilakukan paling lambat 30 November 2020.
Di akhir persidangan, terdakwa MAAS membantah pernyataan Musda Guntur terkait dana Rp450 juta dan menegaskan tidak pernah menerima surat pemeriksaan dari BPK.
“Saya tidak pernah disurati BPK, yang benar hanya menerima telepon konfirmasi saja,” tegasnya di hadapan majelis hakim.
Kasus ini bermula saat Bagian Umum dan Perlengkapan Sekda Morut mencairkan Uang Persediaan (UP) sebesar Rp900 juta pada tahun 2021. Dana itu digunakan untuk membayar kegiatan perjalanan dinas senilai Rp648,9 juta, yang terdiri atas:
MAAS diduga memerintahkan AT untuk membayarkan hak-haknya yang belum terbayar pada tahun 2020 sebesar Rp450 juta. Pembayaran dilakukan setelah ada perintah dari RTS. Selain itu, terdapat pembayaran perjalanan dinas ajudan dan staf bupati senilai Rp89,2 juta.
Seluruh pembayaran dilakukan melewati batas tahun anggaran, sehingga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum.
Ketiga terdakwa dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.(*)
Tidak ada komentar