TIDAK semua orang yang pergi dari kampung halaman mendapat kesempatan untuk kembali sebagai penjaga. Sebagian pulang sebagai tamu, sebagian lagi sebagai kenangan. Helmi Kwarta Kusuma Putra Rauf pulang dengan cara berbeda: membawa amanat negara, tanggung jawab institusi, dan harapan masyarakat yang tak pernah benar-benar ia tinggalkan.
Ia lahir di Luwuk, Sulawesi Tengah, pada 8 Mei 1971 sebuah kota kecil di pesisir timur Sulawesi yang membentuk manusia-manusia keras namun jujur. Di kampung, Helmi tumbuh sebagai anak akamsi: mengenal semua orang, dikenal semua orang. Setiap tindakan punya konsekuensi sosial. Setiap kata mencerminkan keluarga. Dari sanalah ia belajar bahwa hidup bukan sekadar tentang diri sendiri.
Luwuk pada masa itu belum ramai. Anak-anak bermain di tanah lapang, menyusuri pesisir, dan pulang sebelum senja. Helmi kecil dibesarkan dalam disiplin sederhana bangun pagi, menghormati orang tua, dan tidak lari dari tanggung jawab. Ia tumbuh dengan kesadaran bahwa menjadi lelaki berarti siap memikul beban, bukan menghindarinya.
Nilai kampung itu yang kelak menjadi fondasi kepribadiannya: tenang, tertib, dan tidak reaktif. Dalam banyak hal, karakter itu justru sangat menentukan jalan hidupnya di kemudian hari.
Ketika memilih masuk Akademi Kepolisian, Helmi sadar betul bahwa jalan ini tidak mudah. Ia lulus dari Akpol pada 1993, lalu memulai karier sebagai perwira muda dengan satu pilihan penting: reserse. Bidang yang jauh dari sorotan, penuh tekanan, dan seringkali berhadapan langsung dengan sisi gelap manusia.
Di ruang penyidikan, Helmi belajar bahwa hukum tidak selalu hitam dan putih. Ia melihat bagaimana kemiskinan, kekuasaan, dan ketimpangan bisa berkelindan dalam satu perkara. Ia belajar bersabar, menimbang, dan tidak tergesa mengambil kesimpulan. Reserse membentuknya menjadi polisi yang lebih mendengar sebelum bertindak.
Kariernya bergerak dari bawah tanpa lompatan instan. Ia mengisi berbagai posisi teknis hingga struktural, termasuk Kasat Reskrim, sebelum akhirnya dipercaya sebagai Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Sulawesi Selatan. Di titik ini, Helmi dikenal sebagai perwira yang rapi secara administrasi, kuat di substansi, dan minim kontroversi.
Di tengah kesibukan, Helmi tidak berhenti belajar. Ia menamatkan S1 Ilmu Kepolisian, melanjutkan S2 Hukum di Universitas Tanjungpura Pontianak, hingga akhirnya meraih gelar doktor di Universitas Diponegoro pada 2023. Bagi Helmi, pendidikan bukan sekadar simbol, melainkan cara memperdalam pemahaman tentang keadilan dan tata kelola negara.
Ia juga mengikuti berbagai pendidikan kepemimpinan, seperti Sespim 2007 dan Pelatihan Kepemimpinan Nasional Tingkat I tahun 2021. Pendidikan-pendidikan itu mempertemukannya dengan realitas birokrasi dan tantangan kepemimpinan di level strategis.
Pada 11 November 2024, melalui Surat Telegram Kapolri Nomor: ST/2517/XI/KEP./2024, Helmi resmi dilantik sebagai Wakil Kepala Kepolisian Daerah Sulawesi Tengah dan menyandang pangkat Brigadir Jenderal Polisi.
Penempatan ini memiliki makna personal. Ia kembali ke Sulawesi Tengah, kini bertugas dan berkantor di Kota Palu pusat pemerintahan, pusat konflik, sekaligus pusat harapan. Palu bukan kota asing baginya. Ia memahami ritme masyarakat, bahasa sosial, dan sensitifitas lokal yang tidak selalu tertulis dalam buku panduan.
Sebagai anak akamsi, Helmi tahu bahwa pendekatan keamanan tidak bisa seragam. Ada wilayah yang membutuhkan ketegasan, ada pula yang membutuhkan dialog. Ia membawa perspektif lokal ke dalam struktur kepolisian modern.
โKeamanan tidak bisa dibangun sendiri oleh polisi. Ia harus tumbuh dari kepercayaan masyarakat,โ ujarnya dalam satu kesempatan.
Bertugas di kampung sendiri memiliki tantangan tersendiri. Setiap keputusan punya dampak emosional. Setiap kebijakan berhadapan langsung dengan orang-orang yang secara kultural adalah โkeluarga sendiriโ. Namun bagi Helmi, justru di situlah tanggung jawab moral menjadi lebih besar.
Pengalaman panjang di reserse membuatnya memahami bahwa stabilitas tidak hanya soal penindakan, tetapi pencegahan dan keadilan prosedural. Ia mendorong sinergi lintas elemen tokoh adat, tokoh agama, pemuda, hingga mahasiswa sebagai bagian dari ekosistem keamanan.
Atas pengabdian panjangnya, Helmi menerima berbagai tanda kehormatan, termasuk Satyalancana Pengabdian 24 Tahun dan Satyalancana Operasi Kepolisian. Namun bagi Helmi, penghargaan itu bukan tujuan. Ia melihatnya sebagai pengingat bahwa tanggung jawab belum selesai.
Kini, di Kota Palu, Helmi Kwarta Kusuma Putra Rauf menjalani fase penting hidupnya. Ia tidak lagi sekadar menapaki karier, tetapi menjaga warisan sosial tanah kelahirannya.
Ia adalah anak akamsi yang pergi untuk belajar, lalu pulang untuk menjaga.
Dan di Sulawesi Tengah, kisah perjalanan itu masih terus ditulis pelan, tenang, namun penuh makna.(*)

