PARIMO,- Aktivitas Pertambangan Emas Tanpa Izin (PETI) di Kecamatan Lambunu, Taopa, dan Moutong kian tak terbendung. Meski seruan penghentian terus dilontarkan warga dan tokoh publik, para penambang ilegal seolah bekerja tanpa ancaman. Di sejumlah titik seperti Desa Karya Mandiri, Taopa Utara, Gio Barat, hingga Lobu, aktivitas tambang ilegal berlangsung terbuka, menunjukkan betapa lemahnya kontrol aparat dan negara.
Di lokasi-lokasi itu, suara mesin dompeng bergema nyaris setiap hari. Bukit-bukit terkupas, sungai mendangkal, dan kawasan hutan berubah fungsi menjadi lubang-lubang tambang. Bagi warga lokal, perubahan ini bukan sekadar kerusakan ekologi, tetapi pertanda gelombang bencana yang semakin dekat.
Beberapa daerah di Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan Aceh telah lebih dulu merasakan dampak PETI yang dibiarkan: banjir bandang, longsor, dan kerusakan permukiman. Kini, pola serupa mulai terlihat di Parigi Moutong.
Kekhawatiran itu kembali disuarakan Sofyan Farid Lembah, tokoh masyarakat Sulawesi Tengah dan mantan Kepala Perwakilan Ombudsman Sulteng. Sofyan mengingatkan bahwa Kabupaten Parigi Moutong berada di ambang risiko besar.
โBelajar dari pengalaman Sumatera, bila tidak dikendalikan, siap-siap hadapi bencana di Parigi Moutong,โ ujarnya. Sabtu (6/12/2025).
Peringatannya bukan retorika kosong tetapi cermin buruknya pengawasan lingkungan di daerah.
Kritik lebih keras datang dari pegiat lingkungan, Dedi Askary, Anggota Dewan Nasional WALHI dan mantan Deputy Direktur WALHI Sulteng. Dalam tulisannya yang beredar luas berjudul โMengurai Serakahnomics di Parigi Moutongโ, ia menuding ada bentuk kerja sama senyap yang membuat PETI terus hidup: โTrias Collusionโ.
Kolusi itu, menurut Dedi, melibatkan tiga pilar penting dalam tata kelola lingkungan:
- Aparatur kehutanan yang melemah,
- Penegakan hukum yang tumpul,
- Elite politik-birokrasi yang memberi legitimasi informal.
Dedi menilai, ketiga pilar itu yang seharusnya menjadi tameng terakhir justru berubah menjadi pintu masuk keberlangsungan PETI.
Aparat Polhut Dishut Sulteng dan Gakkumhut Sulawesi Wilayah II disebut sebagai garda pertama yang tampak menyerah. Meski memiliki kewenangan untuk menghentikan illegal logging dan PETI, tindakan di lapangan jauh dari harapan.
โDalam logika Serakahnomics, pembiaran adalah bentuk investasi yang menghasilkan keuntungan tidak sah,โ ujar Dedi.
Dedi secara langsung menyoroti Polri sebagai institusi kunci dalam penyidikan. Ia menilai lambannya penanganan kasus PETI di Parigi Moutong telah membuat publik curiga bahwa hukum telah menjadi komoditas tawar-menawar.
โPergeseran dari paradigma keadilan restoratif ke ekonomi transaksional adalah ciri korupsi sistemik,โ ujarnya.
Dedi juga menyoroti dugaan keterlibatan sebagian pejabat daerah dan anggota legislatif dalam memberikan toleransi, bahkan legitimasi tidak langsung terhadap praktik PETI. Bentuknya bisa berupa pembiaran, perizinan bermasalah, atau sikap permisif terhadap praktik yang jelas-jelas merusak lingkungan.
โMereka gagal menjadi representasi rakyat dan pengawal keberlanjutan ekologi untuk generasi mendatang,โ kata Dedi.
Dampak PETI di Parigi Moutong sudah terlihat jelas:
- Sungai-sungai di Taopa dan Lambunu mulai dangkal akibat sedimentasi berat.
- Hutan di bagian hulu tergerus cepat, menghilangkan penyangga alami daerah sekitar.
- Risiko banjir dan longsor meningkat seiring hilangnya vegetasi.
Para ahli lingkungan menilai, jika aktivitas PETI tak segera dihentikan, kerusakan DAS (Daerah Aliran Sungai) di kawasan ini bisa menjadi permanen dalam hitungan tahun.
Ironisnya, warga yang hidup dari pertanian, perkebunan, dan aliran sungai menjadi pihak paling merasakan kerugian. Air keruh, lahan terancam longsor, dan aktivitas pertanian terganggu. Namun pada saat yang sama, para pemodal PETI disebut tetap bebas beroperasi.
Kondisi ini memperlebar jurang ketidakadilan dan menciptakan tekanan sosial baru di masyarakat. Pembiaran berulang membuat publik mulai hilang kepercayaan pada institusi negara. Masyarakat melihat hukum tak lagi berfungsi sebagai pelindung, melainkan alat transaksi.
โHukum kehilangan wibawanya dan direduksi menjadi alat tawar-menawar belaka. Inilah kerusakan paling parah bagi tatanan sosial,โ tegas Dedi.
PETI di Parigi Moutong bukan hanya isu lokal. Ia adalah persoalan tata kelola pemerintahan, ekonomi ilegal, dan lemahnya integritas lembaga negara. Jika pembiaran terus terjadi, bukan tidak mungkin Parigi Moutong akan mengikuti jejak daerah-daerah yang dilanda bencana ekologis akibat tambang ilegal.(*/red)




